Pagi ini, bersama 200an karyawan Telkom Group di lingkungan Jakarta Barat, saya mengikuti apel HUT Sekar ke-17.

Sebuah angka HUT yang sangat manis, sweet seventeen. Tanpa terasa Sekar yang kita cintai ini semakin beranjak remaja mendekati dewasa.

Usia 17 tahun, adalah usia dimana putra-putri kita sudah berhak memiliki KTP, SIM dan kartu lainnya. Bahkan usia ini banyak diidentikkan dengan usia akil balik bagi anak-anak kita.

Dalam tulisan ini saya tidak ingin berbagi tentang peran Sekar yang hingga saat ini telah menunjukkan hasil luar biasa dalam menampung aspirasi karyawan untuk menjembatani sinergitas produktifitas karyawan dengan perusahaan yang kita cinta ini, Telkom.

Terlebih tema dalam HUT ini; Jujur - Produktifitas - Sejahtera, sebuah pemilihan tema yang tak pernah usang untuk diperjuangkan dan ditegakkan.

Namun, Ijinkan saya melihat dari sisi lain. Akhir-akhir ini, kita sering dikagetkan dengan berita kematian para sahabat kita, sesama karyawan Telkom (maaf, bagi saya, sahabat kita tadi adalah semuanya anggota Sekar).

Kematian benar adanya adalah ketentuan yang tidak dapat kita tolak. Kematian adalah takdir yang datangnya entah kapan, adalah semata kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

Namun, mengutip percakapan rekan yang mengikuti upacara, bagaimana kita mati bahagia.

Bagi saya pribadi, ini adalah salah satu PR sesama anggota Sekar, bagaimana saling mengingatkan agar happiness bukan hanya dalam kerjaan atau meraih target-target, tetapi bagaimana menyambut kematian dengan happiness juga.

Meminjam tulisan Prof. Komaruddin Hidayat "Psikologi Kematian", bahwa dengan memahami makna akan datangnya sesuatu yang pasti akan datang, bahwa kematian itu sangat dekat. Hakikat kematian harus dihadapi dengan optimisme agar semuanya menjadi indah.

Kembali ke cerita rekan saya tadi, bahwa bagaimana respon kita saat mendengar berita duka atas sahabat yang mendahului kita. Saat hidupnya dituntut kerja keras, namun saat kepergiannya, ucapan belasungkawa dalam bentuk karangan bunga menjadi saksi bisu.

Menghadiri takziah-nyapun kita jarang. Bahkan mengirim ucapan duka melalui milist grup dianggap cukup. Padahal kita sering memaksakan kehadiran adalah mutlak saat rapat dan kerja.

Saya membayangkan saat apel pagi ini ada sesi mengheningkan cipta, untuk mengenang dan mendoakan para anggota Sekar yang telah mendahului kita. Bukankah mereka juga pejuang dan pahlawan yang membesarkan perusahaan ini.

Mohon maaf jika keinginan saya ini sangat sederhana, namun bagi saya, dengan menjemput indahnya kematian, maka akan tumbuh optimisme untuk semakin jujur, produktif dan ujung-ujungnya sejahtera.

Sekar-ku sayang. Semakin mekarlah. Bangun dan tebarlah optimisme tanpa henti. Bukankah kita ingin bahagia dunia akhirat?

(Daeng_Acid/680149 ; 01/03/17)