Sembilan belas tahun diriku berkiprah di Sekar Telkom, sejak di tahun 2000 dipilih menjadi Komisariat Cabang Kancatel Kotabaru Pulau Laut (Kalsel) yang anggotanya hanya 18 orang sampai menjadi Sekretaris Jenderal DPP Sekar (2016-2019) saat anggota Sekar Telkom sekitar 13 ribu orang, hanya satu yang secara konsisten saya saksikan di Sekar yaitu cinta.

Cinta itu menjadi perekat soliditas dan solidaritas serikat hingga Sekar tetap satu sampai dengan 19 tahun kiprahnya di Perusahaan ini. Cinta itu pula yang melahirkan PKB I yang spektakuler, kemudian disusul PKB-PKB berikutnya hingga PKB ke-8 yang saat ini sedang dirundingkan.

Setiap PKB selalu melahirkan hal baru. Ide-ide bermunculan dari berbagai kalangan. Dan para petarung perundingan selalu meyakini setiap usulan yang datang dari anggota pasti menyangkut hal kebaikan, maka pantas diperjuangkan. Pengurus Sekar, disaat menyusun draft PKB diajarkan untuk melihat aspirasi anggota sebagai bahan baku utama. Karena aspirasi itu digodok dalam forum-forum terhormat yang demokratis, maka para perunding percaya suara itu adalah suara rakyat. Prinsip itu dipegang dari PKB ke PKB.

Seperti juga laut, romantika organisasi Sekar juga pasang surut, itu lumrah dan dinamika yg terus berubah. Dalam satu masa, sempat bercokol organisasi sejenis di Telkom, tapi tak mendapat tempat di hati, bukan karena mereka tak ber-isi, tetapi lebih karena masih mirip dalam visi dan misi. Hanya dalam hitungan bulan mereka kembali, sehingga karyawan Telkom bulat lagi.
Dalam satu masa yang lain, sempat pula ada riak kecil dalam kepengurusan DPP yang berujung pada lahirnya gagasan Munaslub. Tapi usulan dari 39 DPD saat itu berakhir di atas kertas,…. Sampai periode 2013-2016 itu usai, Sekar tetap guyub.

Sebagai wadah pemersatu, penyalur aspirasi, dan pelindung hak-hak karyawan, Rumah cinta Sekar adalah rumah yang jembar. Banyak harapan yang ditebar sehingga sering mereka tengkar. Datang dan pergi penghuninya membawa gagasan yang aneka rupa. Datang dan pergi Kepala Keluarganya di setiap tiga tahun menghadirkan leadership masing-masing gaya. Perbedaan itu menjadi sumber pertengkaran keluarga dan kadang menimbulkan luka.
Di barisan isi kepala yang beragam, pertengkaran bisa dipicu berbagai alasan. Mulai masalah bungkus sampai soal isi. Mulai masalah citra sampai masalah substansi. Meskipun tujuan perjuangannya sudah disepakati kadang masih saja perang mulut tentang cara berjuangnya. Ada yg langsung ingin demo dan angkat spanduk, ada yang memilih jalur kompromi. Ada yang ingin cara “menipu”, ada yg ingin dengan cara merayu. Dan keributan keluarga itu dipercaya sebagai pertanda semua orang ikut berfikir. Terbukti setelah itu mereka rokok-an, ketawa ketiwi.

Mengapa bisa demikian,…. Karena Sekar memiliki common belief yang menurut Emile Durkheim, sosiolog Perancis (1858-1917) disebut mechanic solidarity. Yaitu adanya nilai-nilai bersama yang diyakini dan dipercaya secara umum yang membuat terjadinya integrasi. Nilai-nilai itu kita pilih sendiri, dan para pendiri Sekar yang mulia, telah dengan hebatnya menuliskan mechanic solidarity itu di dalam alenia kelima mukaddimah Anggaran Dasar Sekar, yang ditulis dengan jelas “Bahwa dengan dilandasi oleh rasa memiliki, rasa kecintaan, dan kebanggaan yang mendalam terhadap perusahaan, serta dengan semangat kebersamaan dan persaudaraan…….. dst.

Mechanic Solidarity itulah yang membuat beribu luka tak bisa hapuskan cinta. (Pinjam lirik lagu Nafas Cinta Inka Christy). Maka sampai kapanpun tidak akan pernah ada cukup alasan bila hanya sekedar “akomodasi kepentingan” yang mampu membuat luka menjadi luka yang berdarah yang menyebabkan Sekar terpisah, even itu sekedar prioritas antara P58 dengan AJB dan DPLK.

Banjarbaru, 15 Agustus 2019